Pemuda yang Memimpin

Seperti apakah pemimpin yang baik itu? Apa kriteria pemimpin yang ideal? Bagaimana seharusnya seorang pemimpin memimpin? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sering kali dilontarkan menjelang suksesi pemilihan umum. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya tidak berhenti dalam penjelasan teoritis-konseptual, tetapi mewujud dalam aktualisasi nyata dari teori-teori (itulah yang dinamakan kebenaran: kesesuaian antara kenyataan dan pikiran) serta perwujudan nyata dari janji dan program selama masa kampanye. Sebagaimana hajatan lima tahunan, pengulangan-pengulangan kebobrokan (janji-janji manis tanpa pembuktian) dengan cara-cara yang baru seakan menegaskan bahwa sebenarnya sejarah itu berulang (la historia repete). Begitulah nasib rakyat: diiming-imingi dengan imajinasi tingkat tinggi setelah itu ditendang.

Kita tahu bahwa pada Februari 2017 nanti, Kota Kupang adalah salah satu kota dari tujuh provinsi yang akan melangsungkan Pemilihan Umum. Sebagaimana kita simak dalam beberapa bulan terakhir, suasana perhelatan pemilihan walikota kian memanas yang ditandai dengan deklarasi bakal pasangan calon yang hendak bertarung dalam suksesi pemilihan walikota nanti baik melalui jalur partai politik maupun melalui jalur perseorangan. Tercatat, ada tiga pasangan bakal calon walikota yang hendak bertarung melalui jalur independen dan 6 pasangan bakal calon yang memilih bertarung melalui jalur partai politik.

Sejak ditetapkan sebagai Kota Madya, 23 Juni 1996, Kota Kupang sudah dua kali mengalami pergantian pemimpin. Walau surah mengalami perganitan pemimpin hingga kedua kalinya, namun kesejahteraan umum, masih jauh dari harapan masyarakat Kota Kupang. Persoalan demi persoalan terus menumpuk dimulai dengan pelayanan publik yang buruk, jalanan kota yang penuh kubangan saat musim hujan, suplai air bersih yang tidak memadai saat musim kemarau, privatisasi fasilitas publik sampai dengan pembangunan yang hanya bertujuan kapitalisasi hingga tata kota dan mobilisasi lalu lintas yang kian semrawut. Apalagi, kini wajah kota kian ganas dengan tumbuhnya pasar-pasar modern yang terus mencekik pedagang-pedagang kecil di pasar-pasar tradisional. Rentetan persoalan ini kian menegaskan bahwa pemimpin kota tidak mampu menghadirkan kesejahteraan bagi warganya.

Seyogyanya, setiap warga Kota Kupang menghedaki perubahan menuju kebaruan. Perubahan itu hanya dapat diwujudkan ketika akar dari semua persoalan itu, yakni pusat kekuasaan dipimpin oleh orang yang berjiwa kebaruan dan berorientasikan pada perubahan menuju kebaikan bersama. Maka, urgensi dalam mengaktualisasikan kebaruan hanya dapat dinyatakan dengan memilih pemimpin yang berorientasikan perubahan demi kemaslahatan bersama seluruh masyarakat Kota Kupang. Maka, yang menjadi pertanyaannya adalah, mengapa kita harus memilih pemimpin yang berjiwa kebaruan? Bagaimana mewujudkan kebaruan di Kota Kupang?

Pemuda yang Memimpin

Pemuda adalah suatu terminologi politis-demografis yang terbentuk sesuai dengan cakupan umurnya. Usia pemimpin muda menjadi tolok ukur interpretasi atas kinerja dan kapasitasnya. Maka, dalam dunia perpolitikan, jamak ditemui, pemimpin yang berusia muda sering dikonfrontasikan dengan minimnya pengalaman dalam konstelasi politik dan ketidakmampuan untuk menyeimbangkan pertarungan kepentingan antar politisi. Bahkan, alasan ini menjadi negasi atas segala kehendaknya menjadi pemimpin dalam sebuah perhelatan pemilihan umum. Sejarah pun menorehkan jejaknya, bahwa dalam pembentukan negeri ini garis demarkasi antara golongan tua dan golongan muda telah mengisi  lelembaran sejarah perjuangan bangsa.

Konsekuensi logisnya, kapasitas yang ada pada diri pemuda, yang telah menjadikan dirinya yang sekarang melalui proses selama ini ditentang dengan alasan usia yang masih muda. Pemikiran sempit ini telah menjadi suatu konsepsi umum yang hidup dalam pikiran dan kenyataan masyarakat Kota Kupang dan secara langsung, telah meredusir hakikat manusia yang dalam dirinya punya potensi perubahan menuju suatu kebaruan. Negasi atas potensi yang terkandung secara (in se) pada pemuda yang hendak memimpin, membahasakan suatu ketakutan untuk keluar dari kenyamanan yang selalu mengampuh pada ‘gaya lama’-cenderung resisten pada gebrakan progresif malah erat berkutat dalam gaya tradisionalisme atau konservatisme yang nampak dalam pelanggengan status quo.

Mari kita melihat lebih jauh. Baru-baru ini WHO telah membagi umur manusia berdasarkan tingkat harapan hidup dan kualitas kesehatan. Klasifikasi ulang ini, terbagi ke dalam beberapa term teknis sesuai dengan cakupan umurnya, dimulai dari, Anak-anak di bawah umur (0 – 17 tahun), Pemuda (18 – 65 tahun), Setengah baya (66 – 79 tahun) 80 – 99 tahun : Orang tua (80 – 99 tahun) Orang tua berusia panjang (100 tahun ke atas). Defenisi ulang ini menyatakan suatu kosep lintas batas (overlapping concencus) bahwasanya konsep pemuda melampaui batasan-batasan demografis. Nilai yang hendak ditekankan di sini adalah orientasi pada kebaruan dan perubahan yang dimiliki dalam diri pemuda.  Bila merujuk pada pembagian umur di atas, maka semua kandidat bakal calon walikota tergolong sebagai pemuda. Tetapi di antara berbagai calon, siapakah yang benar-benar berorientasikan pada perubahan dan kebaruan?

Di sinilah pisau bedah kritis-rasional akan menentukan siapakah calon yang benar-benar merepresentasikan nilai kepemudaan. Sejatinya, pemuda adalah persona yang menganut pemahaman kebaruan dan perubahan yang tujuan utamanya menciptakan kesejahteraan dalam diri setiap orang. Benedict Anderson dalam bukunya Revolusi Pemoeda menekankan, pemuda adalah persona yang berjiwa revolusioner demi kemajuan bangsa dan negaranya. Orientasi pada kemaslahatan bersama dalam diri pemuda, tidak terbatas pada rentang umur, tetapi persona yang mengusahakan perubahan dalam komunitas sosialnya dapat digolongkan sebagai pemuda, demikian penegasan Anderson.

Sebagai pemilih dan masyarakat, nasib Kota Kupang lima tahun ke depan ada di tangan kita. Menentukan pilihan pada pemimpin berdasarkan telaah rasional adalah kewajiban demi menjamin aktualisasi kebaruan dalam masa-masa kepemimpinan, pemimpin yang dipilih. Tendensi memilih berdasarkan pertimbangan primodialistik: kesamaan suku dan agama hanya akan menambah rentetan kegagalan dan kekecewaan yang selama ini terjadi sebagai akibat dari pemimpin yang dipilih sebenarnya tidak mempunyai kualitas kepemimpinan sehingga hanya berupaya untuk mewujudkan kebaikan sendiri (bonum private) atau kepentingan parsial bukannya kebaikan bersama (bonum commune) atau kepentingan umum. Berdasar telaah di atas, kita dapat membuat suatu pemisahan yang jelas dan terpilah siapakah yang benar-benar mengusahakan kemaslahatan bersama, hingga putusan untuck memilih benar-benar sahih dan dapat dipertanggungjawabkan. Mari memilih! Demi masa depan Kota Kupang!

*Tulisan ini dipublikasikan di Koran Cetak Victory News, 24 Juni 2016

 

 

 

Diterbitkan oleh pahlate

Pemulung yang belajar mengeja kata, akrabi ruang berteman waktu

Tinggalkan komentar